Kalau kepingin statusnya sama dengan dokter, kenapa tidak masuk kedokteran?”
oleh Rizki Edmi Edison pada 18 Juli 2011 jam 3:06
Tanpa saya sadari wall facebook saya ramai dengan tulisan tentang rancangan undang-undang keperawatan Indonesia yang entah kenapa tidak juga rampung sampai saat ini walau telah memakan waktu bertahun-tahun. Dimulai dari video perdebatan antara mahasiwa dan anggota DPR RI (tidak disebutkan mahasiwa dari universitas dan fakultas apa, dan anggota DPR RI dari komisi berapa) yang direkam dan disebarluaskan melalui facebook, hingga beragam komentar dan opini bermunculan baik di notes maupun di status facebook, utamanya oleh kawan-kawan saya yang berprofesi sebagai perawat di negeri Sakura ini.
Sebenarnya sudah mencapai tingkat apatis bagi diri saya untuk melihat dan mengamati bagaimana para anggota dewan yang terhormat memberikan argumentasi terhadap suatu masalah. Namun karena diskusi tentang rancangan undang-undang ini semakin menghangat layaknya musim panas di Jepang saat ini yang suhunya semakin tinggi, membuat jari saya tidak tahan pula menahan godaan untuk meng-click video berdurasi lebih kurang 14 menit tersebut di www.facebook.com/forkom.perawat , yang kini ternyata telah bisa dilihat di http://www.youtube.com/watch?v=C-7I34Acwjg .
Begitu mendengar kalimat pertama yang meluncur dari mulut satu di antara tiga orang anngota dewan yang terekam di video itu, kening saya langsung berkerut dibuatnya. Kalimat yang beliau ucapkan adalah sebagai berikut, tanpa saya edit sama sekali: “Kalau kalian itu kepingin ya statusnya sama dengan dokter, kenapa tidak masuk kedokteran?” Sontak saja saya pun kaget dibuatnya. “Lho, ini rancangan undang-undang yang hendak dibahas itu tentang apa ya?”, kata saya dalam hati. Tidak baik rasanya jika kita menilai sesuatu tanpa mengetahui terlebih dahulu apa yang menjadi permasalahannya. Tanpa membuang waktu, segeralah saya membuka website resmi Persatuan Perawat Nasional Indonesia, www.inna-ppni.or.id guna mengunduh dan membanca rancangan undang-undanng keperawatan tersebut.
Setelah saya membaca baik-baik 30 halaman kertas ukuran A4 yang berisi rancangan tersebut hingga mata ini perih, tidak satupun saya temukan kalimat baik tersurat maupun tersirat yang menunjukkan bahwa para perawat hendak mengambil alih tugas dan fungsi seorang dokter ataupun tentang rencana penyamaan status antara seorang perawat dengan dokter. Karena saya pun tidak yakin dengan pendengaran saya, maka saya dengar lah berulang-ulang rekaman video di facebook tersebut. Setelah saya cermati baik-baik, tampak adanya kesalahpahaman mendasar dalam perdebatan tersebut.
Manusia memang makhluk yang tak pernah bisa lepas dari kesalahan. Namun jika kesalahpahaman ini dibiarkan berlanjut, tak akan bertemu juga titik temu terhadap permasalahan ini. Dan apa yang diperjuangkan oleh rekan-rekan perawat pada akhirnya akan kandas juga karena “tuntutan akan adanya kejelasan batasan tugas dan fungsi perawat yang dilindungi oleh undang-undang” disalah artikan menjadi “keinginan mengambil alih tugas dan fungsi dokter”. Kesalahpahaman ini jelas bukan perkara sepele.
Beberapa kawan mungkin mempertanyakan kenapa saya yang notabene adalah seorang dokter malah mau ikut nimbrung membahas masalah ini. Jika hendak membahas dan memperdebatkan isi undang-undang, jelas saya bukan ahlinya. Namun berkaca dari dari pengalaman saya selama satu tahun berkecimpung di dunia bedah saraf di Jepang ini, banyaklah hal-hal yang bisa saya jadikan pelajaran dan dibawa ke Indonesia nantinya, untuk kemajuan pendidikan dan dunia kesehatan Indonesia. Dan terus terang saja, sejak satu tahun belakangan inilah baru saya pahami benar-benar bahwa dokter dan perawat ataupun tenaga medis lainnya adalah satu-kesatuan yang bekerjasama guna mencapai kesembuhan pasien.
Pada dasarnya tugas seorang dokter tidaklah bisa dikatakan gampang dalam menjalankan fungsinya membantu pasien untuk sembuh dari penyakitnya. Operasi yang memakan waktu tidak sebentar jelas membutuhkan konsentrasi yang tinggi. Nah, yang namanya penanganan ataupun perawatan terhadap pasien, adalah suatu hal yang bodoh jika beranggapan hanya dilakukan di ruang operasi belaka. Dan di saat-saat itulah tampak nyata bagaimana berperan besarnya profesi perawat tersebut. Walau di ruang operasi sendiri pun, dokter tak akan bisa menjalankan tugasnya dengan maksimal jika tidak ada para perawat di sana. Khusus di ruang operasi, ruangan tempat saya banyak menghabiskan waktu untuk menimba ilmu, sangat banyak peran perawat dalam kesuksesan sebuah operasi yang tak pernah diketahui oleh masyarakat banyak. Yang selama ini terlihat dan bisa dinilai oleh masyarakat adalah peran seorang perawat terhadap pasien di bangsal saja.
Ada beberapa tugas perawat di Jepang ini yang membuat saya terheran-heran dan muncul rasa penghormatan saya terhadap profesi ini. Menyuapi pasien , memandikan, bahkan menemani pasien jalan-jalanpun hanyalah sebahagian kecil dari tugas dan tanggung jawab seorang perawat di negeri ini. Dan hebatnya, tak sekalipun saya pernah melihat para perawat ini bermuka masam di depan pasien. Semuanya dilakukan dengan penuh senyuman. Senyuman yang terkadang saya sendiri ikut terpesona dibuatnya. Jika dokter bisa tidur, maka tidak pernah saya lihat walau satu menit pun nurse station di bangsal bedah saraf ini keadaan tidak ada perawat yang bertugas. Bukan sekali dua kali saya mengintip nurse station untuk memastikan hal ini. Yang namanya menyuapi makanan, tidak berarti hanya menyuapi saja. Namun juga pasien diajak untuk berkomunikasi. Tidak sekali dua kali saya lihat pasien-pasien tersebut bisa tertawa lepas. Mungkin juga karena di Jepang ini tidak ada sistem ataupun aturan yang mengizinkan keluarga mendampingi pasien 24 jam sehari, sehingga semua hal bahkan menyangkut masalah buang air besar pun menjadi tanggung jawab perawat. Jangan harap kita bisa melihat keluarga pasien yang melakukan hal ini di sini.
Di bangsal bedah saraf ini sendiri, setiap pukul sembilan pagi dilakukanlah yang namanya moushiokuri yang artinya adalah diskusi antara perawat dengan dokter tentang kondisi pasien yang menjadi tanggungjawab dokter. Perawat melaporkan perkembangan pasien selama 24 jam terakhir. Karena pada kenyataannya, hampir seluruh waktu dalam menjalani pengobatan di rumah sakti, bukan dokter yang paling lama mendampingi pasien, namun perawatlah yang memegang peranan tidak remeh tersebut. Tidak hanya tugas para perawat saja, namun untuk tugas seorang dokter pun, para perawat selalu mendampingi. Hal ini memang memang membuat saya selalu grogi di awal-awalnya. Sekedar memasang infuse pun, perawat selalu mendampingi. Sekedar membersihkan luka pun, ada perawat yang mendampingi dengan sigap. Mendampingi dalam arti kata bukan hanya berdiri di samping dokter, namun perawatlah yang bertugas membersihkan segala peralatan yang telah digunakan dokter saat itu. Jika untuk memasang infuse saya hanya bertindak kurang dari satu menit, maka jika dihitung-hitung, perawat memerlukan waktu lima menit. Mulai dari mempersiapkan peralatan, memanggil dokter, mengatur posisi pasien, membersihkan segala perkakas yang telah digunakan dan lainnya.
Jika hendak membicarakan segala kekurangan sikap perawat di Indonesia, negeri saya berasal, tentu tak akan habis dibahas di sini. Dan jelas membicarakan kekurangan adalah hal yang sebaik-baiknya kita hindari. Selain tidak memberi perubahan apapun jika hanya menceritakan kejelekan suatu hal, upaya ini hanya menambah letih di hati saja. Bagaimanapun para perawat lah yang paling tahu apa yang menjadi kekurangan di diri mereka.
Kembali ke permasalahan RUU keperawatan ini, bukankah adalah hal yang wajar jika tugas mulia membantu pasien mencapai kesembuhannya memiliki hukum yang mengatur dan melindunginya? Namun ada satu hal yang harus benar-benar diingat dan dipahami dengan baik. Jika suatu profesi memiliki undang-undang yang mengaturnya, terutama mengenai tugas dan fungsi suatu profesi, hendaknya harus dipahami pula akan adanya hukum yang selalu mengawasi segala tindakan yang dilakukan. Masih teringat dengan jelas salah satu ucapan mahasiwi yang berdebat dengan anggota DPR tersebut: “Saya tidak mau, ketika saya lulus nanti dan bekerja, pada akhirnya saya dipenjara.” Ketakutan yang sangat bisa dipahami karena ketiadaan undang-undang yang bisa dijadikan pedoman akan tugas dan fungsi mereka. Namun perlu diingat, justru dengan adanya undang-undang yang mengatur, maka segala tindakan yang di luar ruang lingkup tugas dan fungsinya akan mendapat sanksi pula menurut peraturan yang berlaku.
Kesalahpahaman akan isi RUU ini baiklah diluruskan, akibat yang timbul dari berlakunya undang-undang ini pun perlu pula dipahami sebaik-baiknya. Satu hal yang saya sayangkan dari perdebatan yang direkam di video tersebut adalah adanya ketidakpahaman bahwa dokter saja tidak cukup untuk mencapai kesembuhan pasien. Dokter membutuhkan mitra dalam bertugas, utamanya dalam menangani dan mengobati pasien. Dan adalah satu sifat sombong jika beranggapan bahwa hanya dokterlah yang berkuasa atas kesembuhan pasien.
Teruskanlah perjuangan mu rekan-rekan perawat. Dan mari kita ikut memajukan dunia kesehatan Indonesia.
Sebenarnya sudah mencapai tingkat apatis bagi diri saya untuk melihat dan mengamati bagaimana para anggota dewan yang terhormat memberikan argumentasi terhadap suatu masalah. Namun karena diskusi tentang rancangan undang-undang ini semakin menghangat layaknya musim panas di Jepang saat ini yang suhunya semakin tinggi, membuat jari saya tidak tahan pula menahan godaan untuk meng-click video berdurasi lebih kurang 14 menit tersebut di www.facebook.com/forkom.perawat , yang kini ternyata telah bisa dilihat di http://www.youtube.com/watch?v=C-7I34Acwjg .
Begitu mendengar kalimat pertama yang meluncur dari mulut satu di antara tiga orang anngota dewan yang terekam di video itu, kening saya langsung berkerut dibuatnya. Kalimat yang beliau ucapkan adalah sebagai berikut, tanpa saya edit sama sekali: “Kalau kalian itu kepingin ya statusnya sama dengan dokter, kenapa tidak masuk kedokteran?” Sontak saja saya pun kaget dibuatnya. “Lho, ini rancangan undang-undang yang hendak dibahas itu tentang apa ya?”, kata saya dalam hati. Tidak baik rasanya jika kita menilai sesuatu tanpa mengetahui terlebih dahulu apa yang menjadi permasalahannya. Tanpa membuang waktu, segeralah saya membuka website resmi Persatuan Perawat Nasional Indonesia, www.inna-ppni.or.id guna mengunduh dan membanca rancangan undang-undanng keperawatan tersebut.
Setelah saya membaca baik-baik 30 halaman kertas ukuran A4 yang berisi rancangan tersebut hingga mata ini perih, tidak satupun saya temukan kalimat baik tersurat maupun tersirat yang menunjukkan bahwa para perawat hendak mengambil alih tugas dan fungsi seorang dokter ataupun tentang rencana penyamaan status antara seorang perawat dengan dokter. Karena saya pun tidak yakin dengan pendengaran saya, maka saya dengar lah berulang-ulang rekaman video di facebook tersebut. Setelah saya cermati baik-baik, tampak adanya kesalahpahaman mendasar dalam perdebatan tersebut.
Manusia memang makhluk yang tak pernah bisa lepas dari kesalahan. Namun jika kesalahpahaman ini dibiarkan berlanjut, tak akan bertemu juga titik temu terhadap permasalahan ini. Dan apa yang diperjuangkan oleh rekan-rekan perawat pada akhirnya akan kandas juga karena “tuntutan akan adanya kejelasan batasan tugas dan fungsi perawat yang dilindungi oleh undang-undang” disalah artikan menjadi “keinginan mengambil alih tugas dan fungsi dokter”. Kesalahpahaman ini jelas bukan perkara sepele.
Beberapa kawan mungkin mempertanyakan kenapa saya yang notabene adalah seorang dokter malah mau ikut nimbrung membahas masalah ini. Jika hendak membahas dan memperdebatkan isi undang-undang, jelas saya bukan ahlinya. Namun berkaca dari dari pengalaman saya selama satu tahun berkecimpung di dunia bedah saraf di Jepang ini, banyaklah hal-hal yang bisa saya jadikan pelajaran dan dibawa ke Indonesia nantinya, untuk kemajuan pendidikan dan dunia kesehatan Indonesia. Dan terus terang saja, sejak satu tahun belakangan inilah baru saya pahami benar-benar bahwa dokter dan perawat ataupun tenaga medis lainnya adalah satu-kesatuan yang bekerjasama guna mencapai kesembuhan pasien.
Pada dasarnya tugas seorang dokter tidaklah bisa dikatakan gampang dalam menjalankan fungsinya membantu pasien untuk sembuh dari penyakitnya. Operasi yang memakan waktu tidak sebentar jelas membutuhkan konsentrasi yang tinggi. Nah, yang namanya penanganan ataupun perawatan terhadap pasien, adalah suatu hal yang bodoh jika beranggapan hanya dilakukan di ruang operasi belaka. Dan di saat-saat itulah tampak nyata bagaimana berperan besarnya profesi perawat tersebut. Walau di ruang operasi sendiri pun, dokter tak akan bisa menjalankan tugasnya dengan maksimal jika tidak ada para perawat di sana. Khusus di ruang operasi, ruangan tempat saya banyak menghabiskan waktu untuk menimba ilmu, sangat banyak peran perawat dalam kesuksesan sebuah operasi yang tak pernah diketahui oleh masyarakat banyak. Yang selama ini terlihat dan bisa dinilai oleh masyarakat adalah peran seorang perawat terhadap pasien di bangsal saja.
Ada beberapa tugas perawat di Jepang ini yang membuat saya terheran-heran dan muncul rasa penghormatan saya terhadap profesi ini. Menyuapi pasien , memandikan, bahkan menemani pasien jalan-jalanpun hanyalah sebahagian kecil dari tugas dan tanggung jawab seorang perawat di negeri ini. Dan hebatnya, tak sekalipun saya pernah melihat para perawat ini bermuka masam di depan pasien. Semuanya dilakukan dengan penuh senyuman. Senyuman yang terkadang saya sendiri ikut terpesona dibuatnya. Jika dokter bisa tidur, maka tidak pernah saya lihat walau satu menit pun nurse station di bangsal bedah saraf ini keadaan tidak ada perawat yang bertugas. Bukan sekali dua kali saya mengintip nurse station untuk memastikan hal ini. Yang namanya menyuapi makanan, tidak berarti hanya menyuapi saja. Namun juga pasien diajak untuk berkomunikasi. Tidak sekali dua kali saya lihat pasien-pasien tersebut bisa tertawa lepas. Mungkin juga karena di Jepang ini tidak ada sistem ataupun aturan yang mengizinkan keluarga mendampingi pasien 24 jam sehari, sehingga semua hal bahkan menyangkut masalah buang air besar pun menjadi tanggung jawab perawat. Jangan harap kita bisa melihat keluarga pasien yang melakukan hal ini di sini.
Di bangsal bedah saraf ini sendiri, setiap pukul sembilan pagi dilakukanlah yang namanya moushiokuri yang artinya adalah diskusi antara perawat dengan dokter tentang kondisi pasien yang menjadi tanggungjawab dokter. Perawat melaporkan perkembangan pasien selama 24 jam terakhir. Karena pada kenyataannya, hampir seluruh waktu dalam menjalani pengobatan di rumah sakti, bukan dokter yang paling lama mendampingi pasien, namun perawatlah yang memegang peranan tidak remeh tersebut. Tidak hanya tugas para perawat saja, namun untuk tugas seorang dokter pun, para perawat selalu mendampingi. Hal ini memang memang membuat saya selalu grogi di awal-awalnya. Sekedar memasang infuse pun, perawat selalu mendampingi. Sekedar membersihkan luka pun, ada perawat yang mendampingi dengan sigap. Mendampingi dalam arti kata bukan hanya berdiri di samping dokter, namun perawatlah yang bertugas membersihkan segala peralatan yang telah digunakan dokter saat itu. Jika untuk memasang infuse saya hanya bertindak kurang dari satu menit, maka jika dihitung-hitung, perawat memerlukan waktu lima menit. Mulai dari mempersiapkan peralatan, memanggil dokter, mengatur posisi pasien, membersihkan segala perkakas yang telah digunakan dan lainnya.
Jika hendak membicarakan segala kekurangan sikap perawat di Indonesia, negeri saya berasal, tentu tak akan habis dibahas di sini. Dan jelas membicarakan kekurangan adalah hal yang sebaik-baiknya kita hindari. Selain tidak memberi perubahan apapun jika hanya menceritakan kejelekan suatu hal, upaya ini hanya menambah letih di hati saja. Bagaimanapun para perawat lah yang paling tahu apa yang menjadi kekurangan di diri mereka.
Kembali ke permasalahan RUU keperawatan ini, bukankah adalah hal yang wajar jika tugas mulia membantu pasien mencapai kesembuhannya memiliki hukum yang mengatur dan melindunginya? Namun ada satu hal yang harus benar-benar diingat dan dipahami dengan baik. Jika suatu profesi memiliki undang-undang yang mengaturnya, terutama mengenai tugas dan fungsi suatu profesi, hendaknya harus dipahami pula akan adanya hukum yang selalu mengawasi segala tindakan yang dilakukan. Masih teringat dengan jelas salah satu ucapan mahasiwi yang berdebat dengan anggota DPR tersebut: “Saya tidak mau, ketika saya lulus nanti dan bekerja, pada akhirnya saya dipenjara.” Ketakutan yang sangat bisa dipahami karena ketiadaan undang-undang yang bisa dijadikan pedoman akan tugas dan fungsi mereka. Namun perlu diingat, justru dengan adanya undang-undang yang mengatur, maka segala tindakan yang di luar ruang lingkup tugas dan fungsinya akan mendapat sanksi pula menurut peraturan yang berlaku.
Kesalahpahaman akan isi RUU ini baiklah diluruskan, akibat yang timbul dari berlakunya undang-undang ini pun perlu pula dipahami sebaik-baiknya. Satu hal yang saya sayangkan dari perdebatan yang direkam di video tersebut adalah adanya ketidakpahaman bahwa dokter saja tidak cukup untuk mencapai kesembuhan pasien. Dokter membutuhkan mitra dalam bertugas, utamanya dalam menangani dan mengobati pasien. Dan adalah satu sifat sombong jika beranggapan bahwa hanya dokterlah yang berkuasa atas kesembuhan pasien.
Teruskanlah perjuangan mu rekan-rekan perawat. Dan mari kita ikut memajukan dunia kesehatan Indonesia.