BAB I
TINJAUAN TEORITIS
1.1. Konsep Dasar
1.1.1. Pengertian
Cedera kepala adalah kerusakan neurologik yang disebabkan oleh suatu benda/serpihan yang menembus dan merobek jaringan otak oleh pengaruh suatu kekuatan atau energi. (Price, 1995).
Cedera kepala adalah hilangnya kesadaran segera tetapi sementara akibat dari trauma tumpul atau decelerasi atau trauma tusuk pada daerah frontalatau oksipital yang menciptakn gerakan mendadak dari daerah otak didalam tengkorak (Harison. 2005).
Cedera kepala adalah suatu bentuk trauma yang dapat merubah kemampuan otak dalam menghasilkan keseimbangan aktifitas fisik, intelektual, emosional, sosial dan pekerjaan atau gangguan traumatic yang menimbulkan perubahan fungsi otak (Black M. 1997).
Cedera kepala pada intinya menyatakan suatu cedera akut pada ssuunan saraf pusat, selaput otak, saraf kranial termasuk fraktur tulang kepala, kerusakan jaringan lunak pada kepala dan wajah, baik terjadi secara langsung (kerusakn primer) maupun tidak lansung (kerusakan sekunder), yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis berupa gangguan fisik, kognitif dan fungsi psikososial baik bersifat sementara atau menetap.
1.1.2. Klasifikasi
1.1.2.1. Mekanisme
a. Trauma tumpul (kecepatan tinggi : tabrakan mobil, kecepatan rendah, terjatuh, dipukul)
b. Trauma tumpul (luka tembus peluru dan cidera tembus lainnya)
1.1.2.2. Keparahan cidera
a. Minor
Nilai GCS 13 – 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kuarang dari 30 menit. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusio serebral, hematoma.
b. Sedang
Nilai GCS 9-12, kehilangan kesadaran dan/ atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Berat
Nilai GCS 3 – 8, kehilangan kesadaran dan/atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam, juga meliputi kontusio serebral, laserasi atau hematoma intrakranial. (Hudak & Gallo, 1996: 226)
1.1.2.3. Morfologi
a. Fraktur tengkorak
Terjadi dalam berbagai bentuk yaitu fraktur linier, fraktur basiler
b. Lesi intrakranial
- Comotio serebri (geger otak)
Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih atau tanpa hilangnya kesadaran, tanpa disertai kerusakan jaringan otak
- Contusio cerebri
Menggambarkan area otak yang mengalami memar atau laserasi
- Hematoma epidural
Suatu akumulasi darah pada ruang antara tulang tengkorak bagian dalam dan lapisan meninges paling luar (durameter)
- Hematoma subepidural
Akumulasi darah dibawah lapisan meninges durameter dan di atas lapisan arachnoid yang menutup otak. Pasien yang akut menunjukkan gejala dalam 24-28 jam setelah cidera
- Hematoma intracranial
Pengumpulan darah 25 ml atau lebih didalm parenkim otak
1.1.3. Anatomi dan Fisiologi
Gambar 1.1. Cidera Kepala
1.1.3.1. Berdasarkan Struktur Syaraf
Otak terdapat didalam rongga tengkorak yang dibungkus oleh selaput tengkorak yang disebut dengan meningen. Otak merupakan jaringan yang paling banyak membutuhkan energi setiap harinya untuk proses metabolisme fisik. Secara struktural susuna syaraf terbagi atas 2 bagian yaitu:
a. Susunan Syaraf Setral
i. Otak besar (Cerebrum)
Otak yang terdiri dari 2 belahan yang disebut hemisfer yaitu hemisfer kanan dan kiri. Permukaan otak yang berlekuk – lekuk yang disebut girus dan cela diantara 2 lekukan disebut sulku. Setiap hemisfer cerebri di bagi dalam 4 lobus yang terdiri dari :
1) Lobus Parenteral
· Area sensori sonatis primer
Area ini menerima input mayor, seperti : rasa nyeri, suhu, sentuhan, dan fibrasi.
· Fungsi utama adalah mengitegrasi informasi sensori, misalnya : ukuran, bentuk, tekstur dan objek.
2) Lobus Frontal
Mengontrol emosi, kepribadian, penilaian, penafsiran, tingkah laku yang dipelajari dari pengembangan fikiran.
3) Lobus Temporal
Area ini menerima dan mengiterprestasikan pendengaran, pembau dan rasa.
4) Lobus Oksipital
Area visual primer dan area visual skunder
ii. Batang OtakTerdiri dari :
1) Pons
Terletak di depan otak kecil antara otak besar dengan medulla obligate, pada pons terdapat serat – serat logitudinal yang menghubungkan medula obligate dengan otak besar.
2) Medula Obligata
Terletak dibawah pons dan diatas medulla spinalis, medulla obligata terdapat persilangan serta corticospinal (yang membawa rangsangan motorik dari otak ke medulla spinalis).
iii. Otak kecil (Cereblum)
Otak kecil terletak pada bagian belakang bawah dari otak besar, permukaan otak kecil juga tidak datar. Otak keci juga terdiri dari hemisfer kiri dan kanan secara simetris. Fungsi otak keci adalah sebagai pusat pengatur keseimbangan tubuh dan tempat koordinasi kontraksi otot rangka.
b. Susunan Syaraf Tepi
Terdiri dari syaraf somatic dan susunan syaraf otonom. Susunan syaraf cranial termasuk sensorik dan motorik.
1.1.3.2. Berdasarkan fungsi
a. Sistem Syaraf Otonom
i. Simpatik mengontrol fungsi tang memungkinkan tubuh bertahan misalnya : sterss fisik, emosi dan respon reaksi fight (perjuangan), psight (pelarian).
ii. Parasimpatis mengimbangi efek – efek stimulus, syaraf simpatis melalui penghambatan fungsi organ, respon parasimpatis.
b. Sistim Syaraf Somatif (Cerebro Spinal)
Mengontrol aktivitas yang sadar, seperti : persbsi terhadap keadaan kita dan respon volunter terhadap rangsangan. (Pearce Evelyn, 2000)
1.1.4. Etiologi
1.1.4.1. Cidera percepatan (akselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti taruma akibat pukulan benda tumpul atau karena kena lemparan benda tumpul.
1.1.4.2. Cidera perlambatan (deselerasi) bila kepala membentur objek yang secar relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. (Hudak & Gallo, 1996 : 226)
1.1.5. Tanda dan gejala
1.1.5.1. Cidera Primer : memar pada permukaan otak, laserasi subtansi alba, cedera robekan dan hemoragi
1.1.5.2. Cidera Sekunder : hipoksia, fiperkarbia dan hipotensi(Hudak & Gallo, 1996: 226)
1.1.6. Patofisiologi
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan “menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya. (Hudak & Gallo, 1996)
Web Of Caution
(Sylvia A, 2000)
1.1.7. Kompilkasi
1.1.7.1. Edema pulmonal
Komplikasi paru-paru yang serius pada pasien cedera kepala adalah edema paru. Ini mungkin terutama berasal dari gangguan neurologis atau akibat dari sindrom distres pernafasan dewasa. Edema paru dapat akibat dari cedera pada otak yang menyebabkan adanya refleks chusing.
1.1.7.2. Kebocoran cairan serebrospinal
Bukan hal yang tak umum pada beberapa pasien cidera kepala dengan fraktur tengkorak untuk mengalami kebocoran CSS dari telinga atau hidung. Ini dapat akibat dari fraktur pada fossa interior dekat sinus frontal atau dari fraktur tengkorak basilar bagian petrous dri tulang temporal.
1.1.7.3. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari pasien cedera kepala selama fase akut (Hudak & Gallo, 1996)
1.1.8. Pemeriksaan Penunjang
1.1.8.1. Scan CT : mengidentifikasi adanya SOL, hemoragi, menentukan ukuran ventikuler, pergeseran jaringan otak.
1.1.8.2. MRI : sama dengan scan CT dengan atau tanpa menggunakan kontraks.
1.1.8.3. Angiografi Cerebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, pendarahan, dan trauma.
1.1.8.4. EEG : untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis
1.1.8.5. Sinar X : mendeteksi adanya perubahan sturktur tulang, pergeseran struktur dari garis tengah (karena pendarahan edema), adanya fragmen tulang.
1.1.8.6. BAER (Brain Auditory Edvoked Respon) : menentukan fungsi korteks dan batang otak
1.1.8.7. PET (Positron Emission Tomografhy) : menunjukkan perubahan aktifitas metabolisme pada otak
1.1.8.8. Fungsi lumbal, CSS : dapat menduga kemungkinan adanya pendarahan subarakhonoid
1.1.8.9. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenisasi yang akan dapat meningkatkan TIK
1.1.8.10. Kimia atau elektrolit darah : mengetahui keseimbangan yang berperan dalam meningkatkan TIK atau perubahan mental
1.1.8.11. Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhdap penurunan kesadaran
1.1.8.12. Kadar Anti Konvulsan Darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang (Doengos, 2000)
1.1.9. Penatalaksanaan
1.1.9.1. Medis
a. Drug terapy
- Osmotik diuretik: monitol, anti kompulsi, diazepam.
- Loop diuretik : lasik
- Corti steroid: dexametason
- H2 antagonis resptor seperti simetidin.
b. Terapi lain pembedahan
1.1.9.2. Keperawatan
a. Memantau tanda – tanda vital
b. Mempertahankan kepala dan leher pada posisi fleksi 30º-45 º
c. Membatasi cairan sesuai indikasi
d. Memberikan atau melakukan parawatan luka jika ada
e. Memberikan lingkungan dan tempat yang nyaman
f. Memantau intake dan output
g. Membatasi pengunjung yang dapat menularkan infeksi
h. Mengambil bahan pemeriksaan (spasme) sesuai indikasi
1.2. Asuhan Keperawatan Teoritis
1.2.1. Pengkajian
1.2.1.1. Identitas klien dan keluarga
Nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, agama, alamat, status perkawinan, tanggal masuk, tanggal pengkajian dan No.MR.
1.2.1.2. Alasan masuk
1.2.1.3. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Pada umumnya klien dengan trauma kepala mengeluh nyeri didaerah trauma, terdapat cedera robekan, hipoksi, hipotensi, hiperkarbia dan hemoragi.
b. Riwayat kesehatan dahulu
Apakah pasien mempunyai penyakit yang berhubungan dengan sistem persarafan: kejang maupun penyakit sistem lainnya seperti cedera kepala, pembedahan pada persyarafan, pingsan dan stroke.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Tidak ada hubungan cedera kepala dengan riwayat penyakit kepala.
1.2.1.4. Pemeriksaan Fisik
1.2.1.4.1. Data Dasar
a. Aktivitas istirahat
Gejala: merasa lemah, kaku hilang keseimbangan
Tanda: perubahan kesadaran primifasrise afeksia cara berjalan tidak tegak kehilangan tonus otot.
b. Sirkulasi
Gejala: perubahan tekanan darah (hipertensi/normal)
c. Integritas ego
Gejala: perubahan tingkah laku atau kepribadian
Tanda: Cemas, mudah tersinggung, bingung, depresi.
d. Nyeri dan kenyamanan
Gejala: sakit kepala, kadang-kadang berjarak dengan intensitas dan lokasi yang berbeda biasanya lama.
Tanda: wajah meringis respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa beristirahat
e. Pernafasan
Tanda: Depresi pusat pernafasan atau di medula oblomata
f. Keamanan
Gejala: Trauma baru atau trauma karena kecelakaan.
Tanda: Afasia motorik dan sensorik bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang disertai dengan anomia.
1.2.1.4.2. Pemeriksaan Tingkat Kesadaran (GCS)
a. Respon motorik
- Spontan : 4
- Terhadap bicara : 3
- Dengan rangsangan nyeri : 2
- Tidak ada reaksi : 1
b. Respon verbal
- Baik dan tak ada disorientasi : 5
- Kacau : 4
- Tidak tepat : 3
- Mengerang : 2
- Tidak ada jawaban : 1
c. Respon motorik
- Menurut perintah : 6
- Mengetahui lokasi nyeri : 5
- Reaksi menghindar : 4
- Reaksi fleksi : 3
- Reaksi ekstensi : 2
- Tidak ada reaksi : 1
1.2.1.4.3. Pemeriksaan Nervus
a. Nervus Olvaktorius : berfungsi terhdap persepsi penciuman
b. Nervus Optikus : berfungsi dalam penglihatan
c. Nervus Okulomotorius : berfungsi untuk pergerakan bola mata
d. Nervus Troklear : berfungsi untuk pergerakan bola mata keatas dan kebawah
e. Nervus abdusen : berfungsi untuk memutar boala mata ke luar dan ke dalam
f. Nervus trigeminus : berfungsi kemampuan sensoris dan motorik
g. Nervus vasialis : berfungsi untuk sensasi pengecapan dan otot wajah
h. Nervus akustikus : berfungsi untuk pendengaran
i. Nervus glasofaringeal : berfungsi untuk reflek menelan
j. Nervus vagus : berfungsi untuk pembentukan suara
k. Nervus assesoris : berfungsi untuk pergerakan rotasi kepala
l. Nervus hipoglosus : berfungsi untuk pergerakan lidah
1.2.1.5. Data Psikologi
Klien dengan trauma kepala dapat menyerang semua tingkat ekonomi harus juga diperhatikan lingkungan rumah dan pekerjaan yang bersangkutan karena ketegangan dan sumber trauma yang dapat menimbulkan gejala atau gangguan pada fungsi persyarafan data sosial diperluakan adalah bagaiamana kemampuan klien berkomunikasi atau berhubungan dengan orang lain serta peranban keluarga terhadap penyakit klien.
1.2.1.6. Data Spiritual
Klien dengan cedera kepala dapat menimbulkan gangguan dalam melakukan ibadah.
1.2.1.7. Pemeriksaan diagnostik
1.2.1.7.1. Scan CT : mengidentifikasi adanya SOL, hemoragi, menentukan ukuran ventikuler, pergeseran jaringan otak.
1.2.1.7.2. MRI : sama dengan scan CT dengan atau tanpa menggunakan kontraks.
1.2.1.7.3. Angiografi Cerebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, pendarahan, dan trauma.
1.2.1.7.4. EEG : untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis
1.2.1.7.5. Sinar X : mendeteksi adanya perubahan sturktur tulang, pergeseran struktur dari garis tengah (karena pendarahan edema), adanya fragmen tulang.
1.2.1.7.6. BAER (Brain Auditory Edvoked Respon) : menentukan fungsi korteks dan batang otak
1.2.1.7.7. PET (Positron Emission Tomografhy) : menunjukkan perubahan aktifitas metabolisme pada otak
1.2.1.7.8. Fungsi lumbal, CSS : dapat menduga kemungkinan adanya pendarahan subarakhonoid
1.2.1.7.9. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenisasi yang akan dapat meningkatkan TIK
1.2.1.7.10.Kimia atau elektrolit darah : mengetahui keseimbangan yang berperan dalam meningkatkan TIK atau perubahan mental
1.2.1.7.11.Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhdap penurunan kesadaran
1.2.1.7.12.Kadar Anti Konvulsan Darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang
1.2.2. Kemungkinan Diagnosa yang Muncul
1.2.2.4. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah oleh SOL (hemoragi, hematoma);edema serebral (respon lokal atau umum pada cidera, perubahan metabolik, takar lajak obat / alkohol); penurunan TD sistemik / hipoksia (hipovolemia, distritmia jantung)
1.2.2.5. Inefektif pola nafas berhubungan dengan kerusakan neuromuskular ( cidera pada pusat pernafasan otak), kerusakan persepsi atau kognitif, obstruksi trakeobronkial
1.2.2.6. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif ; penurunan kekuatan atau tahanan; terapi pembatasan/ kewaspadaan keamanan, mis; tirah baring, imobilisasi
1.2.2.7. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadaran); kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah dan menelan; status hipermetabolik.
1.2.2.8. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif; penurunan kerja silia, statis cairan tubuh; kekurangan nutrisi; respon inflamasi tertekan (pengguanaan steroid); perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS)
1.2.2.9. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang pemajanan, tidak mengenal informasi / sumber-sumber; kurang mengingat / keterbatasan kognitif (Doenges, 1999)
1.2.3. Implementasi Keperawatan
Setelah rencana tindakan disusun maka selanjutnya adalah pengolahan data dan kemudian pelaksanaan asuhan keperawatan sesuai dengan rencana yang telah disusun tersebut. Dalam pelaksanaan atau implementasi maka perawat dapat melakukan observasi atau mendiskusikan dengan klien atau keluarga tentang tindakan yang akan dilakukan.
1.2.4. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah langkah terakir dalam asuhan keperawatan. Evaluasi dilakukan dengan pendekatan SOAP. Dalam evaluasi ini dapat ditentukan sejauh mana keberhasilan rencana tindakan yang disusun. Dan dapat pula ditentukan rencana tindakan yang harus dimodifikasi.
a
Tidak ada komentar:
Posting Komentar